Sabtu, 22 Maret 2014

Makalah Ekonomi SDH



MAKALAH EKONOMI SDH

PERANAN SUMBER DAYA HUTAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NASIONAL


Disusun oleh:
Kelompok IV
Budi Utomo                                      13542511000421
Ernesta Yuliana T                                    13542511000426
                       
Roni Sampe Layuk                  13542511000447




PROGRAM STUDI KEHUTANAN
SEKOLAH TINGGI PERTANIAN
KUTAI TIMUR
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kesehatan yang telah diberikan akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah  ini tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Hutan, sehingga kendala-kendala yang penulisi hadapi dapat teratasi.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, penulis juga berharap dari pembaca mengenai kritik dan saran yang dapat membangun pengetahuan penulis dalam pembuatan makalah berikutnya.

Sangatta, Maret 2014



penulis

















DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL                                                                                             i
KATA PENGANTAR                                                                                           iii 
BAB 1 PENDAHULUAN                                                                                   
1.1.Latar Belakang                                                                                           1  
1.2.Tujuan                                                                                                         3
1.3.Mamfaat                                                                                                     3
BAB 2 ISI                                                                                                             
2.1. Pendapatan Nasional                                                                                 4  
2.2.Pendapatan (income) dan Kekayaan (aktiva)                                             6
2.3. Implikasi)                                                                                                   9
2.4.Peranan Sumberdaya Hutan dalam Meningkatkan Pendapatan Nasional)    9  
2.5.Sektor Kehutanan Dalam Perspektif Pendapatan Nasional)                      12
BAB 3 PENUTUP                                                                                                
      3.1 Kesimpulan                                                                                                 9
      3.2  Saran                                                                                                          9  
DAFTAR PUSTAKA












BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hutan merupakan kesatuan ekosistem yang didominasi oleh pohon dan    menghasilkan iklim mikro. Hutan juga dikenal sebagai salasatu penghasil sumber daya alam terbesar karena hutan memiliki potensi biotik maupun abiotik yang sangat besar. Suatu paradoks kehutanan ada bahkan mungkin lebih bila dibandingkan dengan profesi yang lain karena adanya suatu kebutuhan untuk bertindak bagi masa mendatang. Setiap biji/ benih yang ditanam pada hari ini sudah dipercaya bahwa masyarakat akan membutuhkan pohon tersebut ketika pohon tersebut sudah masak tebang dikemudian hari. Ini berarti melihat jauh kedepan benda-benda yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kegiatan silvikultur pada hari ini tidak ada pengaruhnya pada kualitas dan kuantitas kayu pada tahun ini, akan tetapi sangat menentukan bentuk hutan 30 tahun, 50 tahun atau 70 tahun yang akan datang.
Pada situasi masyarakat yang berkembang dengan pesat maka dimasa datang perubahan-perubahan yang terjadipun akan sangat cepat pula. Produk baru, metode baru, jasa yang baru, pada waktu ini berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi dan kemajuan tingkat kehidupan manusia. Banyak barang yang sangat berharga pada hari ini dimasa datang mungkin tidak ada harganya lagi. Contoh yang berkaitan dengan hasil hutan yang pada 20 tahun lalu sangat berharga ialah “Getah Perca”.
Getah Perca merupakan hasil hutan ikutan dari pohon perca yang pada waktu itu sangat dibutuhkan guna bahan isolasi kabel telepon di laut. Akan tetapi dengan diketemukannya plastik sebagai bahan isolasi kabel maka getah perca tidak lagi menjadi komoditi ekspor.
Memang profesi rimbawan selalu berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan pohon. Rimbawan dipaksa menjadi “Product-oriented”, apapun yang ditanam pada waktu ini merupakan produk yang diharapkan akan laku untuk dijual dimasa yang akan datang. Untuk itu maka seorang rimbawan harus mempunyai pandangan jauh kedepan yaitu dapat membuat prediksi untuk puluhan tahun kedepan. Karena memang rentang waktu produksi dibidang kehutanan memerlukan tempo yang sangat lama. Misalnya menanam pohon jati sampai masa panennya paling tidak memerlukan 40 tahun bahkan dapat lebih. Pada kondisi pasar yang global sekarang ini maka perlu adanya perubahan orientasi rimbawan yaitu menjadi “Market Oriented”,agar dapat menang dalam persaingan di pasar dunia. Dengan makin langkanya sumber daya hutan meningkatkan suplai hasil hutan perlu dikenalkan jenis “Lesser known species” ke pasaran.
Pengelolaan sumber daya hutan yang didasari pada tindakan yang bijaksana akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika hasil hutan maksimal maka tingkat pertumbuhan ekonomi akan menigkat pula. Rimbawan memiliki tanggungjawab bukan hanya dari segi pelestarian tetapi lebih dari itu, pelestarian yang mengarah pada pemamfaatan sumber daya hutan lebih dituntut saat ini. Indonesia pernah menjadi salasatu Negara ekspor kayu terbesar dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan nasional yang paling besar.

1.2  Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa  mengetahui potensi dan pengelolahan sumber  daya hutan dalam meningkatkan pendapatan nasional.
1.3  Mamfaat
Adapun mamfaat dari makalah ini adalah agar mahasiswa mampu mengetahui potensi serta pengelolahan sumber daya hutan dalam meningkatkan pendapatan Negara.
















BAB 2
ISI
2.1 Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional ialah Pendapatan yang dihasilkan suatu negara dalam periode tertentu yang berasal dari penggunaan faktor-faktor produksi yang tersedia. Pendapatan Nasional dapat dijadikan indikator kemampuan dan kualitas sumberdaya yang dimiliki suatu negara. Semakin baik sumberdaya suatu negara, maka relatif besar pula Pendapatan Nasional-nya. Sumberdaya disini tidak hanya terbatas Sumberdaya Alam, tapi juga termasuk Sumberdaya Manusia. Contohnya Jepang walaupun Sumberdaya Alam sedikit akan tetapi Sumberdaya Manusia yang unggul membuat Pendapatan Nasional-nya tinggi.
Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665. Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. Menurut mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar pada suatu negara.
Data Pendapatan Nasional suatu negara diperlukan untuk mengetahui tingkat kemakmuran masyarakat suatu negara dan juga untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Selain itu data Pendapatan Nasional  juga diperlukan untuk mengetahui struktur ekonomi suatu negara. Data P           Pendapatan Nasional  ini tentu akan mempermudah pemerintah dalam mengambil kebijakan ekonomi baik negara maupun daerah.
Pendapatan Nasional dapat dikelompokkan dalam beberapa sektor usaha, yakni sebagai berikut:
1.    Sektor Agro dan Kelautan; terdiri dari sub-sektor pertanian, sub-sektor perkebunan, sub-sektor peternakan, dan sub-sektor perikanan.
2.    Sektor Pertambangan; terdiri dari sub-sektor pertambagan migas dan sub-sektor pertambangan non-migas.
3.    Sektor Kekayaan Alam lain; terdiri dari sub-sektor air, sub-sektor tanah, dan lain sebagainya.
4.    Sektor Industri; terdiri dari sub-sektor industri besar dan sub-sektor industri UKM
5.    Sektor Pariwisata; terdiri dari sub-sektor hotel, sub-sektor restoran, dan sub-sektor tempat wisata.
6.    Sektor Perhubungan; terdiri dari sub-sektor transportasi udara, sub-sektor transportasi laut, dan sub-sektor transportasi darat.
7.    Sektor Properti.
8.    Sektor Distribusi Barang.
9.    Sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lain.
10.  Sektor Kehutanan.
2.2 Pendapatan (income) dan Kekayaan (aktiva)
Secara matematis, Pendapatan Nasional Bruto (PNB dan PDB) sebenarnya sama dengan jumlah pendapatan seluruh penduduk suatu Negara dalam setahun. Jadi, kalau pendapatan setiap individu penduduk Indonesia dalam tahun tertentu dijumlahkan, akan sama dengan PNB atau PDB. Dalam praktek Kalau data angka PNB atau PDB dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia dalam tahun yang sama akan ditemukan angka pendapatan rata-rata per-kapita. Dikarenakan tingkat pendapatan juga merupakan salah satu indikator perekonomian, pembangunan ekonomi juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Dalam praktek, pendekatan untuk memperkirakan pendapatan Nasional digunakan beberapa macam metoda. Yang bertugas untuk perhitungan pendapatan nasional adalah Biro Pusat Statistik (BPS).
Selain pendapatan, ada lagi indikator perekonomian lainnya yakni kekayaan (asset atau aktiva). Nilai Aktiva (kekayaan) yang dimiliki oleh badan usaha, pemerintah maupun private individual adalah merupakan pasangan komplementer Pendapatan, karena asset adalah sumber daya yang menghasilkan pendapatan. Semakin kaya seseorang (perusahaan, maupun Negara) semakin tinggi juga harapan pendapatan yang diperolehnya. Sebaliknya, apabila kekayaan (aktiva) semakin rendah, semakin rendah pula pendapatan yang bisa diperoleh. Jadi boleh dikatakan bahwa pendapatan adalah fungsi kekayaan. Sebaliknya, semakin tinggi pendapatan seseorang, badan, atau pemerintah, akan memungkinkan semakin kaya, apabila mampu menyisakan dari konsumsi yang diperlukan (tidak habis dikonsumsi).
Sebaliknya, apabila sebagian aktiva yang ada kemudian terus menerus diambil untuk kepentingan konsumsi, maka nilai aktiva yang dimilikinya akan menurun, yang berlanjut ke arah penurunan pendapatan, yang disebut sebagai bergerak kearah yang lebih miskin. Negara kaya, sebenarnya bukanlah Negara yang hanya berpendapatan tinggi, melainkan juga Negara yang memiliki asset yang juga tinggi. Negara bisa berpendapatan tinggi, tetapi apabila pengeluaran belanja rutin yang harus dibayarnya lebih besar dari perolehan pendapatannya, maka harus ditutup oleh cadangan aktiva yang  tersedia. Apabila hal tersebut terus menerus terjadi maka seluruh aktiva akan habis (miskin).
Dalam unit ekonomi (Nasional, Badan Usaha, maupun Private Individual) aktifitas perekonomian didukung oleh dua kelompok besar Sumber Daya (Aktiva) Ekonomi, yakni aktiva yang berupa sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). SDA itu sendiri terdiri dari (1) SDA dalam arti sempit (yaitu SDA yang masih dalam bentuk, sifat, dan lokasi deposit aslinya) maupun (2) SDA yang sudah berubah lokasi maupun bentuk dan sifatnya (juga disebut sebagai man–made capital atau MMC). Kekayaan Negara adalah nilai seluruh SDA yang dimiliki yang adalah merupakan jumlah nilai SDA maupun MMC dimaksud.
Indonesia, sebagai Negara yang pendapatan ekonominya masih sangat tergantung kepada SDA (natural resources dependent country atau NRDC) adalah contoh ekstrim, bahwa capital (sumber daya) untuk memperoleh pendapatan nasional (bukan hanya pendapatan pemerintah saja) adalah dihasilkan dengan cara ekstraksi sumber daya alam baik yang terbarukan (sektor kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan dsb) maupun yang tidak terbarukan (sektor pertambangan) pada level yang paling primer (hulu).
Sebagai NRDC, tingkat pendapatan nasional yang dicapainya, sangat tergantung kepada derajat ekstraksi yang dilaksanakan Negara ini. Semakin besar ekstraksi sumber daya alam yang dilaksanakan, akan semakin tinggi pula anggapan tentang pendapatan nasional yang diperolehnya. Bisa dimaklumi bagaimana di masa orde baru Indonesia menggalakkan roda perekonomiannya dengan cara ekstraksi besar-besaran terhadap hutan (untuk memperoleh pendapatan dari hasil hutan kayu) dan minyak bumi. Kemudian, saat ini juga bisa dijumpai perkembangan yang pesat terhadap ekstraksi barang tambang yang berupa mineral dan batubara. Di banyak daerah, bisa ditunjukkan bagaimana pemerintah menggalakkan perolehan pendapatan dari sektor pertambangan besar-besaran. Semakin tinggi fisik maupun nilai produk tambang yang diekstrak dari depositnya dianggap sebagai yang semakin baik. Tidak disadari, bahwa pengurasan (ekstraksi) SDA terutama yang tak terbarukan, akan berarti merupakan pengurangan stock dalam depositnya, yang suatu saat akan habis. Nantinya, pada saat deposit seluruh unit pertambangan habis, maka pada saat itu pula akan tidak ada lagi arus pendapatan yang bisa diperoleh dari ekstraksi deposit tambang. Beberapa Negara bisa dijadikan contoh (negeri Solomon misalnya) ketika tambang kuningan diekstrak habis-habisan, negeri ini cukup kaya yang kemudian kembali relatif miskin setelah deposit tambang kuningan yang dimilikinya habis (Repetto, 1990). Nah, jadi apa yang bisa dikaji dari kejadian tersebut.
2.3 Implikasi
Angka Pendapatan Nasional (atau PDB dan PDRB) Hijau (lestari), sebenarnya memang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk segera dilaksanakan negeri ini. Tentu saja, diperlukan dukungan data dari sektor-sektor usaha yang ada, karena BPS tentu tidak akan mampu melaksanakannya. Data yang diperlukan selain data yang yang secara rutin dikumpulkan oleh BPS terutama adalah data inventarisasi SDA yang masih dalam bentuk depositnya (termasuk inventarisasi tegakan hutan). Data inventarisasi SDA dan Mutu Lingkunan (baik berupa depresiasi maupun apresiasi) digunakan untk koreksi terhadai angka Pendapatan Nasional.
2. 4 Peranan Sumberdaya Hutan dalam Meningkatkan Pendapatan Nasional

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari sektor kehutanan saat ini mengalami penurunan dibandingkan pada awal pembangunan Indonesia. Angka ini sangat kecil dari seharusnya karena kelebihan perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto), dimana:
a) PDB hanya menghitung nilai uang (nilai pasar), tidak menghitung intangible benefit seperti fungsi sumberdaya hutan dalam pengaturan tata air, pencegah erosi dan penyerapan karbon.
b) PDB tidak melihat keterkaitan /dampak positif dari sektor kehutanan ke sektor lain seperti dampak terhadap peningkatan sektor industri dan pertanian sawah irigasi.
seperti Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Papua sektor kehutanannya memiliki korelasi yang Peranan sektor kehutanan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap tingkat pencapaian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa daerah sangat kuat terhadap nilai PDRB yang dicapai. Artinya peran sektor kehutanan sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Sementara Kalimantan Selatan, Yogyakarta, Maluku Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Jambi sektor kehutanan di daerahnya memiliki sumbangan yang cukup besar bagi nilai PDRB. Hal ini penting untuk dikemukakan karena masih terdapat pemikiran sekaligus analisa yang cenderung menyesatkan di sebagian kalangan, dimana secara nasional PDRB agregat yang dihasilkan sektor kehutanan relatif kecil. Akibatnya timbul simplifikasi bahwa upaya pengembangan dan pembangkitan sektor kehutanan dirasa tidak penting. Padahal, peran sektor kehutanan di daerah-daerah tertentu yang menyumbangkan PDRB signifikan sangatlah besar kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi regional, utamanya devisa, pajak serta penyerapan tenaga kerja. Dipastikan, kegagalan mempertahankan bahkan membangkitkan kembali peran sektor kehutanan akan berdampak sangat buruk terhadap kondisi sosial ekonomi regional.
            Di samping itu, produk-produk sektor kehutanan memiliki rasio keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan produk-produk lain di dalam negeri. Antara lain dibandingkan dengan produk tekstil, produk kulit, pakaian jadi maupun makanan olahan. Selain unggul dibanding produk lain di dalam negeri, untuk produk sejenis di Asia Tenggara, produk kayu dan produk sektor kehutanan indonesia memiliki struktur keunggulan komparatif yang lebih baik.
            Sektor kehutanan adalah salah satu sub sektor dari sektor pertanian. Kontribusi sub sektor kehutanan terhadap sektor pertanian selama periode 2004-2005 relatif kecil dibandingkan dengan kontribusi sub sektor lainnya yaitu hanya sebesar 3,52% pada tahun 2004 dan menurun menjadi sebesar 3,2% pada tahun 2005 (Tabel 3.3). Kontribusi sub sektor kehutanan menunjukkan angka yang menurun, akan tetapi dari segi jumlah mengalami kenaikan dari sebesar Rp. 20,20 milyar pada tahun 2004 menjadi sebesar 20,63 milyar pada tahun 2005.
`Tabel 2.5. Nilai dan Kontribusi Sub Sektor pada Sektor Pertanian di Indonesia

Lapangan Usaha
Nilai (Rp. Milyar) dan Kontribusi (%) Sub Sektor Menurut Tahun
2004
2005
2006
Pertanian
471,38(10,00%
500,84 (13,28%)
526,29 (12,5%)
Tananaman bahan makanan
101,80 (25,0%)
111,94 (22,6%)
119,87 (22,8%)
Tananaman perkebunan
298,69 (63,37%)
311,09 (62,11%)
322,79 (61,33%)
Peternakan
11,70 (2,50%)
13,49 (2,69%)
14,90 (2,83%)
Kehutanan
17,65 (3,74%)
16,86 (3,52%)
17,20 (3,20%)
Perikanan
41,53 (8,81%)
47,46 (9,47%)
51,74 (9.83%)






Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia
            Pertumbuhan sub sektor kehutanan periode tahun 2005 mengalami penurunan pertumbuhan sebesar -4,48% dan pada tahun 2006 sebesar 2,02% . Jika dirata-ratakan selama 2 tahun Pertumbuhan sektor tersebut mengalami pertumbuhan negatif sebesar 1,23%. Pertumbuhan sub sektor pada sektor pertanian disajikan pada Tabel 6. Penurunan peran sektor kehutanan dari produksi kayu dan hasil hutan lainnya cenderung menurun, karena kebijakan pemerintah membatasi jatah tebang tahunan, karena penurunan potensi hutan dan terjadinya degradasi lahan hutan.
2.5 Sektor Kehutanan Dalam Perspektif Pendapatan Nasional     Berkelanjutan.
Lebih dari 20 tahun, politik pembangunan ekonomi Indonesia menekankan pada eksploitasi sumberdaya alam untuk pembiayaan pembangunannya (Warsito, 1994). Penerimaan dari produksi ekstraksi tambang (berua minyak, gas, dan mineral) dan hasil hutan terutama kayu, telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembiayaan pembangunan dan pengeluaran rutin. Nilai ekspor nasional industri hasil hutan (plywood, furniture dan pulp) meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar $200 juta (dua ratus juta dolar AS) per tahun pada sekitar tahun 1980 menjadi lebih dari $9 milyar (sembilan milyar dolar AS) per tahun pada tahun 1990-an.
            Pada tahun 1997, saat Indonesia mulai mengalami krisis ekonomi, total output dari aktivitas kehutanan adalah sekitar $20 milyar (dua puluh milyar dollar AS) atau sekitar 10% dari GDP Indonesia (World Bank, 2001). Sektor pertambangan mineral (emas, perak, tembaga, nikel, timah dan batubara) memberikan kontribusi sebesar 8,2% dari penerimaan ekspor Indonesia tahun 1996, 7,9% tahun 1997 dan 14,0% tahun 1998. Selama beberapa periode tahun 1996 sampai dengan tahun 1998 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat 7% dan GDP per kapita (berdasar harga konstan 1995) naik dari sekitar $ 248/kapita pada tahun 1960 menjadi $ 1.011/kapita pada tahun 2001 (WDI, 2002). Beberapa indikator ekonomi makro lainnya menunjukkan hal yang relatif sama, yaitu angka kemiskinan turun dari 70% pada tahun 1965 menjadi 11% pada tahun 1996 dan tingkat inflasi berada pada tingkat dibawah 10% (Lubis, 1997).
            Indikator ekonomi yang sekilas nampaknya cukup baik tersebut, dilain pihak ternyata diikuti dengan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam yang digunakan untuk penciptaan pendapatan nasional itu sendiri, serta degradasi lingkungan. Dalam periode tersebut, terjadi pengurangan luas hutan di Indonesia rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun. Angka tersebut telah melebihi taksiran tingkat deforestrasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6–1,3 juta hektar per tahun (World Bank, 1994). Kerusakan lahan akibat pertambangan mencapai 59.090 ha dan baru seluas 7.743 ha yang telah direklamasi (Lubis, 1997). 
Berdasarkan pengalaman pembangunan ekonomi yang terjadi di kebanyakan negara sedang berkembang, pada dekade terakhir ini banyak negara mulai memikirkan tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemikiran ini berdasar pada laporan Burndtland Commission tahun 1987 yang menyatakan bahwa pilihan pembangunan saat ini dengan eksploitasi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan, dimungkinkan akan mengurangi kualitas kehidupan generasi mendatang (World Bank, 1997). Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Konferensi Rio de Janeiro tahun 1992 yang menyarankan tentang perlunya indikator untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan dan atau memelihara kekayaan. Kekayaan (wealth) dalam konteks ini adalah mencakup aset produksi, sumber daya alam, kualitas lingkungan dan sumberdaya manusia yang seharusnya digunakan sebagai indikator pembangunan. Sampai sejauh ini, instrument untuk menilai keberhasilan pembangunan di Indonesia yang selama ini digunakan adalah Pendapatan Nasional, Domestik Bruto (PDB).
Demikian halnya di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Indikator kinerja pembangunan yang digunakan adalah berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).  Namun pada kenyataannya indikator nilai PDB maupun PDRB ini belum mampu mencerminkan hakekat tujuan pembangunan yang diharapkan dan tidak dapat dipakai untuk mengetahui tingkat keberlanjutan (sustainability) pembangunan, karena belum memasukkan unsur deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Itulah sebabnya PDB dan PDRB belum dapat digunakan untuk mengetahui pola (pattern) keberlanjutan pembangunan suatu Negara/daerah.
Salah satu indikator yang dianggap lebih mampu memberikan gambaran tingkat kesejahteraan yang sebenarnya dan relatif lebih mampu memberikan gambaran keberlanjutan pembangunan perekonomian, adalah apa yang dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto Hijau (PDBH) pada tingkat nasional dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Hijau (PDRBH) pada tingkat regional. Indikator ini dianggap lebih mampu menggambarkan keberlanjutan pembangunan suatu wilayah karena telah memasukkan unsur nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam pendekatan perhitungannya.
Berdasarkan berbagai kondisi seperti diuraikan tersebut dimuka, penerapan PDBH/PDRBH sebagai indikator pembangunan di Indonesia adalah perlu untuk dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan bahwa peningkatan Gross Domestic Product (GDP) dari sebesar 1.280 trilyun rupiah pada tahun 2000 menjadi sebesar  1.480 trilyun rupiah pada tahun 2001 ternyata pada periode yang sama terjadi pengurangan stock (sediaan) sumber daya alam, antara lain perngurangan luas areal hutan  1,6 juta hektar per tahun, emisi karbon sebesar 296 juta ton per tahun, dan eksploitasi sumberdaya alam seperti minyak, emas, tembaga, nikel, batubara dan lain sebagainya (World Bank, 2001).
Pendapatan Nasional adalah merupakan salah satu indikator kemajuan perekonomian yang menunjukkan capaian pendapatan finansial dari setiap sektor usaha yang juga merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan setiap unit usaha perekonomian. Termasuk di dalamnya adalah pendapatan usaha yang diperoleh unit-unit pengusahaan hutan dalam satu tahun, baik hutan tanaman maupun hutan alam. Dengan mengabaikan indikator perekonomian lainnya, terdapat asumsi bahwa semakin Tinggi pendapatan Nasional suatu Negara, adalah didambakan karena semakin tinggi pula tingkat kemakmurannya.






















BAB 3
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari isi yang telah kami paparkan, dapat kami simpulkan bahwa:
a.        Hutan merupakan salasatu penghasil sumber daya alam terbesar karena hutan memiliki potensi biotik maupun abiotik yang sangat besar.
b.      Pendapatan Nasional ialah Pendapatan yang dihasilkan suatu negara dalam periode tertentu yang berasal dari penggunaan faktor-faktor produksi yang tersedia.
c.       Semakin Tinggi pendapatan Nasional suatu Negara, maka semakin tinggi pula tingkat kemakmurannya.

3.2  Saran
Dari makalah yang kami buat, disarankan bahwa pengelolahan hutan seharusnya di lakukan secara bijaksana karna hutan mempunyai sumber daya alam yang sangat tinggi dan jika di kelola secara bijaksana dapat menjadi salah satu sumber pendapatan nasional yang berperan untuk meningkatkan kemamkmuran masyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar